Sendang Beji Yogyakarta, Dulunya Pusat Peradaban Hindu?

Di sebuah desa di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada sebuah sendang yang konon dikatakan sangat keramat untuk dikunjungi. Sendang ini, selain banyak dikunjungi oleh masyarakat sekitar, juga banyak dikunjungi oleh orang-orang luar daerah, bahkan sampai orang-orang luar pulau Jawa juga.

Jarak sendang ini nggak begitu jauh dengan pantai Parangtritis yang sangat terkenal, hanya 2 kilometer saja. Sedang yang terletak di Kabupaten Bantul, tepatnya di Padukuhan Parangrejo, Desa Girijati, Kecamatan Purwosari ini, layaknya di tempat-tempat yang dianggap sakral atau keramat lainnya,  dijaga oleh seorang juru kunci. Setelah mbah Arjo, yang merupakan juru kunci tempat ini meninggal, posisi juru kunci kemudian dipercayakan kepada Tugiran yang merupakan salah satu tokoh warga sekaligus anak kandung dari mbah Arjo.

Image by http://yogyakarta.panduanwisata.id

Image by http://yogyakarta.panduanwisata.id

Sendang ini memiliki keunikan yaitu debit airnya yang akan tetap sama saat musim penghujan maupun kemarau. Selain itu di sendang ini terdapat sebuah arca Ganesha berbalut kain dan berlumut yang berdiri kokoh di atas sendang. Sang juru kunci sendiri tidak tahu kapan persisnya arca tersebut diletakkan di sendang tersebut. Namun banyak yang menduga bahwa tempat ini sudah ada sejak lama dan dulunya menjadi pusat peradaban Hindu.

Sejarah Dan Mitos Sendang Beji

Menurut cerita, sendang Beji ini dulunya adalah salah satu tempat favorit Dewi Nawangwulan, seorang bidadari cantik dari kahyangan yang pergi untuk turun ke bumi demi mandi di tempat ini. Dalam legenda masyarakat Jawa, Dewi nawangwulan tak lain dan tak bukan adalah istri Joko Tarub.

Dari cerita tersebut kemudian berkembanglah sebuah mitos bahwa jika membasuh muka atau mandi menggunakan air sendang ini, maka orang tersebut akan selalu terlihat awet muda. Karena mitos yang tersebar luas di kalangan masyarakat inilah kemudian Sendang Beji menjadi dikenal banyak orang. Baik wisatawan daerah maupun wisatawan luar pulau. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos tersebut, namun sampai saat ini wisatawan yang berkunjung ke sendang ini sangat antusisas melakukan berbagai ritual seperti mandi dan mencuci muka dan anggota tubuh dengan air sendang ini, terutama para kaum hawanya. Bahkan ada sebagian wisatawan yang membawa pulang air sendang untuk diminum di rumah.

Setelah selesai mandi, para pengunjung biasanya tidak langsung pulang, melainkan akan tetap tinggal sejenak untuk bermeditasi atau sekadar duduk diam sambil berdoa. Sambil mendengarkan suara gemericik air yang mengalir dan menghirup udara segar tanpa polusi, bisa dipastikan kamu akan semakin khusyuk dengan doamu dan meditasimu akan semakin terasa sempurna.

Menurut sang juru kunci sendiri, setiap hari hampir selalu ada saja wisatawan yang datang berkunjung. Namun kunjungan paling banyak biasanya terjadi pada hari-hari yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai hari keramat atau sakral, yaitu hari Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon, bahkan pada malam-malam ini, pengunjung bisa mencapai ratusan orang. Wow! Lain lagi ketika tanggal 1 suro. Di hari yang menurut masyarakat Jawa zaman dahulu dianggap sebagai hari paling sakral, dan biasanya orang-orang melewatkannya dengan lek-lekan atau begadang seharian penuh tanpa tidur ini, pengunjung bisa datang lebih banyak lagi, tak berhenti dari pagi sampai malam.

Untuk sampai ke Sendang Beji, kamu harus sedikit bersusah payah, guys. Jalan menuju Sendang Beji ini masih berupa jalan setapak, jadi kamu harus hati-hati ya. Gimana? Penasarn ingin mencoba membuktikan mitos Sendang Beji? Yuk, langsung saja ke sini!

One Comment on “Sendang Beji Yogyakarta, Dulunya Pusat Peradaban Hindu?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *